Refleksi Pengalaman Diri



AKU ADALAH AKU...................


Beberapa hari ini, saya melakukan rihlah ke sebuah desa yang dikenal dengan “Kampung Inggris”. Sendirian. Berbagai tempat (kompleks) saya hampiri. Berbagai nuansa saya hayati. Berbagai nilai saya rasuki. Berbagai disiplin saya ikuti. Berbagai, berbagai, berbagai…..
Meskipun masih beberapa hari, seandainya disuruh bercerita tentang pengalaman rihlah saya, entah berapa ribu lembar kertas akan habis saya tulis. Jika saya seorang ilmuwan, entah berapa teks bias saya teliti. Jika saya seorang sastrawan, entah berapa roman, berapa novel, dan cerita-cerita pendek bias saya dokumentasikan. Dan jika saya seorang pengusaha, entah berapa banyak keuntungan-keuntungan yang saya dapatkan.
Sayang, saya hanyalah saya, bukan kamu, bukan dia dan bukan mereka. Saya adalah saya. Tapi barangkali kata “unfortunately” yang pas jika ditempelkan ke dalam diri saya. Tapi untunglah saya hanyalah saya. Bukan siapa-siapa. Paling tidak saya sekedar seorang manusia, atau seorang “makhluk jelata”, atau “orang biasa”.
Saya bukan seorang ilmuwan yang berjalan mencari gejala-gejala, yang memburu realitas-realitas hanya untuk dijadikan bahan observasi di sebuah laboratorium. Begitu pula bukan seorang pedagang yang melancong menjajah dunia lain hanya sebagai pelancong yang senantiasa mencari keuntungan.
Saya tidak berupaya “merakyat”, karena saya memang sekedar bagian dari rakyat. Kalau suatu hari saya dijumpai orang menjadi seorang “frustasi”, saya bukanlah “sedang menghayati kehidupan orang frustasi”, karena saya memang sungguh-sungguh seorang yang frustasi. Kalau pada hari berikutnya saya menjadi “pengemis”, saya bukanlah “sedang menghayati bagaimana beratnya mempertahankan hidup sebagai pengemis”, karena pada saat itu saya memang sungguh-sungguh seorang pengemis. Saya tidak pernah menghayati orang miskin, kemiskinan, penderitaan, kesengsaraan, atau kelaparan, sebab saya memang orang miskin yang menderita, sengsara dan kelaparan. Namun, pada sisi lain, saya adalah juga seorang manusia yang riang gembira, penuh syukur, dan bahagia. Saya tinggal memilih berganti-ganti memakai kaki bahagia atau kaki derita, tangan sedih atau tangan gembira.
Inilah saya…!!! Saya hanya bisa berguman dalam hati, “untuntunglah Allah menyediakan seribu kemungkinan nilai yang memungkinkan setiap orang tetap berpeluang mengolah kegembiraan dan kebahagiaannya di posisi mana pun dan keadaan bagaimana pun. Manusia diberi-Nya kesanggupan untuk beradaptasi terhadap situasi bermacam-macam. Manusia dikasih-Nya darah, naluri, dan kecerdasan agar ia tetap saja mampu menyelenggarakan kegembiraan dan kebahagiaan meskipun dengan suku cadang yang terendah nilainya bisa menghasilkan ramuan kegembiraan dan kebahagiaan yang jauh melebihi taraf kegembiraan dan kebahagiaan yang dirajut dengan suku cadang mewah”
“Manusia bekerja keras, mengobankan harga diri dan kemanusiaannya untuk memperoleh sejumlah suku cadang yang mungkin berupa uang, harta benda, atau jabatan yang diperhitungkan akan bisa dipakai untuk menanak kegembiraan serta kebahagiaan. Sebagian memperolehnya, antara lain; dengan cara menggorok manusia-manusia lain. Tetapi peningkatan nilai suku cadang itu tidak berbanding sejajar dengan kadar kegembiraan dan kebahagiaan yang dirindukannya.  Pada saat banyak gejala, bahkan mereka berbanding terbalik. Kalau kita telah memiliki tingkat harta yang tinggi, ketika seseorang menyodori kita uang sepuluh ribu rupiah, tak terasa oleh kita. Tetapi yang itu sangat besar artinya jika kita cukup melarat. Makin miskin kita, makin berarti semua uang dan harta benda. Makin kaya kita, kekayaan makin tak terasa. Sehingga, kalau manusia berakal sehat, ia akan cenderung memilih miskin, asal jangan sampai fakir…”
Untuk itu, saya mencoba untuk menempelkan diri saya bersama orang-orang lain yang jika ditanya siapa dia, menjawab: “Aku seorang master”, “Aku seorang profesor”, “Aku seorang PNS”, “Aku pejabat”, atau apa pun. Sehingga saya “bukan” saya, sebab saya hanya sebatas perjanjian di antara orang-orang yang mengenal saya. Bahkan mungkin tak seorang pun mengenali saya yang sebenarnya.
Saya sekedar seorang manusia, hanyalah sesuatu yang diizinkan Allah untuk menjadi seorang manusia. Maka saya bisa “berperan” menjadi siapa pun dan apa pun pada baju kemanusiaan saya. Saya bisa berperan sebagai siapa pun dan apa pun dalam konteks yang bermacam-macam.
Saya harus melihat diri sendiri dengan suatu ketidakkerasanan sebagai anggota dari suatu lingkaran komunitas; RT, RW, kelurahan, kecamatan, kabupaten, provinsi… padahal saya adalah warga dari suatu “negeri alam semesta” yang batas tutorial saya tidak terbatas, yang diketahui hanya oleh Allah Sang Pencipta.
Maka, saya mencoba untuk rihlah dengan memilih jalan yang kira-kira terbebas dari penglihatan ataupun pandangan nilai masyarakat yang baku. Pada saat-saat tertentu, saya harus membuat diri sendiri “tidak ada”. Artinya, saya akan melenyapkan seluruh getaran keberadaan pribadi sehingga siapa pun di sekeliling saya tak merasa bahwa saya ada karena memang tidak ada. Bukan berarti saya bisa “menghilang”. Saya sekedar melenyapkan diri dari setiap perangkat komunikasi manusia dan sistem lingkungan yang ada. Saya hanya bersembunyi dari mata pengetahuan.

0 komentar :

Posting Komentar