Sinergi antara Bahasa dan Peradaban Manusia



Ibn Khaldun dalam sebuah magnum opus-nya “Muqaddimah” mengatakan bahwa tanda wujudnya peradaban adalah berkembangnya ilmu pengetahuan seperti fisika, kimia, geometri, aritmetik, astronomi, optik, kedokteran dsb. Bahkan maju mundurnya suatu peradaban tergantung atau berkaitan dengan maju mundurnya ilmu pengetahuan. Jadi substansi peradaban yang terpenting dalam teori Ibn Khaldun adalah ilmu pengetahuan. Namun ilmu pengetahuan tidak mungkin hidup tanpa adanya komunitas yang aktif mengembangkannya. Karena itu suatu peradaban harus dimulai dari suatu “komunitas kecil” dan ketika komunitas itu membesar maka akan lahir besar. Komunitas itu biasanya muncul di perkotaan atau bahkan membentuk suatu kota. Dari kota itulah akan terbentuk masyarakat yang memiliki berbagai kegiatan kehidupan yang daripadanya timbul suatu sistem kemasyarakat dan akhirnya lahirlah suatu Negara. Tanda-tanda lahir dan hidupnya suatu peradaban bagi Ibn Khaldun di antaranya adalah berkembanganya teknologi, (tekstil, pangan, dan papan / arsitektur), kegiatan eknomi, tumbuhnya praktek kedokteran, kesenian (kaligrafi, musik, dsb). Di balik tanda-tanda lahirnya suatu peradaban itu terdapat komunitas yang aktif dan kreatif menghasilkan ilmu pengetahuan.
Namun di balik faktor aktivitas dan kreativitas masyarakat masih terdapat faktor lain yaitu bahasa. Karena bahasa merupakan media untuk menyampaikan sebuah gagasan. Sebaik apapun pemikiran seseorang, tanpa bahasa adalah suatu ke-nihil-an. Sinergi antara bahasa dan pemikiran manusia dapat mengantarkan manusia untuk tidak saja menyempurnakan penampilan ragawi mereka, tetapi juga mengatasi berbagai keterbatasan ragawi mereka sehingga memberi jalan bagi lahirnya fenomena khas manusia berupa kebudayaan, dan secara lebih khusus peradaban. Itulah sebabnya Wittgenstein mengatakan "Die Grenzen meiner Sprache bedeuten die Grenzen meiner Welt," yang jika diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia akan berbunyi seperti ini, "Batas Bahasaku adalah batas duniaku." Dengan kata lain, Kalau ketidak-mampuan berbahasa adalah batas dunia binatang, maka kekurang-cakapan berbahasa juga membatasi dunia manusia. Pun bila dikehendaki memperluas dunia manusia, maka salah satu piranti utamanya adalah kecakapan berbahasa.
Sejalan dengan Wittgenstein, Ernest Cassirer juga memiliki suatu kesimpulan  yang berbeda dari kecenderungan pemikiran awam. Kalau kebanyakan dari kita meyakini bahwa pembeda utama manusia dari binatang adalah kemampuan berpikirnya, maka Cassirer menegaskan bahwa manusia menjadi begitu istimewa karena bahasa. Demikian juga Erving Goffman mengatakan, ”... human beings are symbol-using creatures”. Ungkapan ini pada dasarnya sama dan sebangun dengan penyebutan Cassirer bahwa manusia adalah animal symbolicum.
Perlu ditegaskan disini bahwa simbol merupakan atom-atom penyusun sebuah bahasa. Satuan terkecil ini dapat berupa bunyi ataupun gerakan. Kita ambil contoh misalnya seorang bayi yang baru lahir dan kemudian menangis kencang. Hal ini merupakan sebuah simbol yang pertama yang dihasilkan insan manusia ketika berhasil menatap dunia. Bunyi tangisan tersebut dapat bermakna beragam, apakah si bayi merasa kesakitan, merasa kedinginan atau kepanasan terhadap perubahan kondisi, merasa lapar, merasa tidak nyaman, dan berbagai asumsi lainnya.
Berbicara mengenai simbol, sering kali terkait akan bidang pengetahuan lain, seperti Matematika ataupun Kesenian. Matematika yang penuh dengan angka-angka dan simbol-simbol penghubungnya, serta Seni yang dengan keindahan suguhannya mampu menghipnotis penikmatnya. Tapi pernahkah terpikir bahwa cabang ilmu tersebut juga merupakan sebuah bahasa? Ya, bahasa! Matematika dengan angka-angkanya merupakan sebuah sistem bahasa yang jika disusun sedemikian rupa dengan bantuan simbol lainnya akan menghasilkan sebuah makna kebahasaan, bahasa matematika tentunya. sebagai contoh misalnya, 1 + 1 = 2. angka dua dihasilkan atas penggabungan simbol-simbol sebelumnya, yakni angka 1 yang dihubungkan dengan simbol (+) serta diikuti angka 1 dan menghasilkan persamaan yang dilambangkan dengan =. Sebuah proses induktif yang berhasil menciptakan sebuah simpulan.
Kembali berbicara masalah bahasa, pernahkah terpikir apa yang akan terjadi jika manusia tidak pernah menemukan bahasa seperti yang kita gunakan saat ini? Pada dasarnya, sebutan manusia sebagai makhluk pengguna simbol memiliki cakupan lebih luas dibanding sebutan manusia sebagai makhluk berpikir (homo sapiens), karena hanya dan hanya bila menggunakan bahasa maka manusia bisa berpikir dengan runtut, teratur, canggih, dan abstrak. Lebih lanjut, semua prestasi kolektif manusia, seperti khasanah pengetahuan keilmuan, kemajuan peradaban, serta keadiluhuran budaya, hampir pasti tidak bisa diwujudkan tanpa peran bahasa sebagai prasyarat utama.
Tanpa bahasa, maka tiada pula kemampuan manusia untuk meneruskan nilai-nilai, pola-pola perilaku, dan benda-benda budaya dari satu angkatan kepada angkatan penerusnya. Lebih dari itu, tanpa bahasa boleh jadi juga akan jauh lebih sulit membayangkan terjadinya pengayaan budaya melalui pertukaran antar kelompok masyarakat.

0 komentar :

Posting Komentar