MEWUJUDKAN DESA PENDIDIKAN DI KAMPUNG INGGRIS





Orentasi Medan Sebelum Siswa Belajar
Dewasa ini, umat manusia tengah memasuki suatu zaman baru yang ditandai dengan semakin ketatnya persaingan antar komunitas maupun antar individu. Inilah era modern yang kerapkali menjadi “nyamuk raksasa” dalam kehidupan masyarakat.
Tradisi umat manusia dalam rangka mempertahankan keberlangsungan eksistensi kehidupan maupun budaya mereka; atau bahkan untuk bersaing antar satu kelompok dengan kelompok lainnya dan antar satu individu dengan individu yang lain adalah melalui pendidikan.
Pendidikan merupakan media atau wahana untuk menanamkan nilai-nilai moral dan ajaran keagamaan, pembentukan kesadaran bangsa, meningkatkan taraf ekonomi, social, mengurangi kemiskinan serta sebagai instrument menguasai teknologi. John Dewey, seorang filsuf pendidikan yang mengusung pendidikan progresif di Amerika, mengatakan

“…education is the fundamental method of social progress and reform. All reform which rest simply upon the enactment of law. Or the threatening of certain penalties, or upon changes in mechanical or outward arrangements, are transitory and futile. Education is a regulation of the process of coming to share in the social consciousness; and that the adjustment of individual activity on the basic of this social consciousness is the only sure method of social reconstruction

Dalam bahasa yang lebih sederhana, pendidikan dapat disebut juga sebagai proses yang dilakukan agar ada perubahan di dalam masyarakat. Dari gambaran ini terlihat jelas bahwa parameter kunci pendidikan adalah perubahan.
Perubahan yang kita dapatkan dari proses pendidikan sangatlah vital bagi kepentingan masyarakat sebab wajah pendidikan kita hari ini adalah wajah masyarakat kita dimasa yang akan datang.
Malcolm X, pejuang kebebasan kulit hitam pernah menyerukan,

Education is our passport to the future, for tomorrow belongs to the people who prepare for it today;”
hingga jika kita ingin mendapatkan masa depan yang lebih baik, maka kita harus menyiapkan pendidikan yang juga lebih baik.
Berbagai kebudayaan dan keyakinan umat manusia, sesungguhnya terus menerus berusaha untuk menjaga dan mempertahankan penyelenggaraan pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan ini selanjutnya menjadi kewajiban kemanusiaan maupun sebagai strategi budaya dalam rangka mencapai sebuah pencerahan (enlighment) serta untuk mempertahankan kehidupan mereka.
Itulah makanya, melihat begitu pentingnya pendidikan bagi umat manusia. Banyak peradaban manusia yang “mewajibkan” masyarakatnya untuk tetap menjaga keberlangsungan pendidikan. Banyak tradisi dan keyakinan manusia menekankan akan pentingnya pendidikan dan mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu. Anjuran tersebut semata didasarkan karena keyakinan bahwa eksistensi umat manusia akan terancam jika pendidikan diabaikan.
Pendidikan merupakan satu-satunya strategi umat manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya yang usianya hampir sama dengan manusia itu sendiri, -sejak adanya manusia- Oleh karenanya, pendidikan harus senantiasa membuat masing-masing individu (manusia) untuk memiliki personal behavior yang efektif, sehingga mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan sisterm politik dan struktur ekonomi yang penuh dengan persaingan. Dengan demikian ada sebuah slogan “siapa yang kuat dan pandai akan menang dan mereka yang kalah akan tersingkirkan”, atau dengan meminjam bahasa filosof –knowledge is power-
Perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tidak terlepas dari pengaruh perubahan global, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya. Perkembangan dan perubahan yang terjadi secara terus-menerus ini, menuntut perlunya peningkatan kualitas pendidikan nasional, seperti peningkatan sumber daya manusia (SDM), termasuk penyempurnaan tujuan, proses pendidikan, kualitas out put dan lain sebagainya. Ini sumua guna mewujudkan masyarakat yang mampu bersaing dan menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.
Atas dasar tersebut, Pare, yang dikenal dengan “Kampung Bahasa”, mencoba melangkah untuk meningkatkan kualitas atau mutu pendidikan yang aksentuasinya adalah bahasa Ingris. Secara pasti tujuan pendidikan di Pare selain menciptakan individu yang berkepribadian baik juga mencetak SDM yang mampu berdialektika dengan dunia internasional, dalam arti, generasi yang dibentuk adalah SDM yang mumpuni dalam bidang ilmunya sekaligus memahami media-media yang dipakai dalam dunia global. Salahsatunya adalah bahasa Inggris.
Metode pendidikan dan pengajaran di Pare juga dirancang untuk mencapai tujuan di atas. Setiap metodologi yang tidak berorientasi pada tercapainya tujuan tersebut  tentu dihindari. Dengan demikian, pendidikan di Pare ditujukan dalam rangka membangkitkan dan mengarahkan potensi, baik yang ada pada diri setiap manusia selaras dengan fitrah manusia dan meminimalisasi aspek buruknya.
Dalam kerangka ini, diperlukan suatu prinsip yang menjadi paradigm dasar atas pendidikan di Pare, antara lain:
1.      Asosiasi Lembaga dan Masyarakat
Pare merupakan suatu daerah yang selama ini dikenal sebagai Kampung Bahasa. Sebagai Kampung Bahasa sudah tentu di dalamnya terdapat banyak lembaga yang mengajarkan bahasa, khususnya bahasa Inggris. Dari sekian banyaknya lembaga, dibutuhkan sebuah asosiasi yang mewadahi semua lembaga pendidikan dan kegiatan kemasyarakatan di Kampung Bahasa. Sehingga dengan demikian, semua lembaga yang ada dapat bekerja sama dalam mengoptimalkan dan  mengembangkan sistem pendidikan di Pare.
Kendatipun demikian, untuk mewujudkan suatu pendidikan yang ideal tidak terlepas dari dukungan masyarakat setempat. Karena masyarakat merupakan salah satu faktor terciptanya pendidikan yang nantinya mampu mengangkat citra suatu bangsa di mata dunia internasional. Untuk itu, diperlukan kerjasama semua lembaga dengan seluruh lapisan masyarakat di Pare dalam bentuk kemitraan.
Secara konseptual, kemitraan mengandung makna adanya kerjasama antara satu pihak (lembaga pendidikan) dengan pihak lainnya (masyarakat) disertai pembinaan dan pengembangan usaha atau program yang berkelanjutan oleh kedua belah pihak dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Sehingga akan terbuka ruang akselerasi yang cukup kepada semua elemen masyarakat, untuk turut memberikan kontribusi yang optimal dalam upaya perluasan akses pendidikan.
Rangkaian selanjutnya adalah tahap realisasi. Tentunya akan membutuhkan program pendidikan dan kurikulum yang selaras, serasi dan berkesinambungan dengan tujuan yang telah dicita-citakan

2.      Independensi Lembaga Pendidikan
Pada dasarnya, modernitas dengan lipstick kuasanya yang berupa mesin tekhnologi mampu menghipnotis kehidupan manusia dari dunia kebebasan berpikir dan berkehendak menjadi penjara nalar, sehingga eksistensi manusia sebagai makhluk yang mulia terinjak-injak oleh ideology tekhnologis. Dan yang paling ironis penjajahan itu pula berimbas pada sistem pendidikan. Pendidikan masa sekarang telah kehilangan objektifitasnya dalam arti kata peran dan fungsinya mengalami anomali dari proses penciptaan kesadaran (consciousness) yang aksentuasinya adalah pencerahan (enlightenment) berubah menjadi proses penciptaan ketidaksadaran (unconciousness) yang skimming-nya pada penindasan berpikir (pembentukan manusia mekanik). Pendidikan yang semula alamiah dan liar, perlahan mulai diikat pada tali formalitas. Maka dibuatlah kurikulum pendidikan secara missal agar ada standarisasi dan pemfokusan hasil agar tidak ada penyimpangan dari target. Mulailah dibakukan jam belajar.
Kondisi ini memang memberikan perbaikan bagi dunia pendidikan. Akan tetapi ada efek lain yang juga ditimbulkannya, yaitu terciptanya sejumlah individu yang oleh Herbert Marcuse disebut manusia satu dimensi: individu yang hanya bangun, pergi sekolah, pulang dan belajar secara terus menerus sehingga lupa akan berkreasi dan berimajinasi.
Melihat fenomena di atas, lembaga-lembaga pendidikan di Pare umumnya membebaskan diri dari berbagai tendensi yang bisa mengekang perkembangan dan optimalisasi pendidikan yang ada, seperti tendensi pemerintah. Karena realitas yang terjadi sekarang, khususnya di Indonesia adalah kemana penguasa berkehendak, kesitulah roda pendidikan diputar. Dengan demikian lembaga pendidikan di Pare dapat berjalan secara independen dengan bebas, kreatif, inofatif dan imajinatif.

3.      Keterpaduan pemberian pelayanan (Integrated delivery of service)
Suatu sistem pendidikan dapat dikatakan bermutu, jika proses belajar mengajar berlangsung secara menarik dan menantang, sehingga peserta didik dapat belajar sebanyak mungkin melalui proses belajar yang berkelanjutan. Proses pendidikan yang bermutu akan membuahkan hasil pendidikan yang bermutu dan relevan dengan pembangunan. Untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu dan efisien tersebut perlu disusun dan dilaksanakan program-program pendidikan yang mampu membelajarkan peserta didik secara berkelanjutan, karena dengan kuwalitas pendidikan yang optimal, diharapkan akan dicapai keunggulan sumberdaya manusia yang dapat menguasai pengetahuan, keterampilan dan keahlian sesuai dengan ilmu pengetahuan yang terus berkembang.
Untuk itu, diperlukan manajemen pendidikan yang dapat memobilisasi segala sumber daya pendidikan. Manajemen pendidikan itu terkait dengan manajemen peserta didik yang isinya merupakan pengelolaan, fasilitas dan kwalitas pelayanan terhadap seluruh peserta didik. Fakta-fakta di lapangan ditemukan sistem pengelolaan peserta didik yang masih belum professional, seperti lebih menekankan pada pengembangan kecerdasan dalam arti yang sempit dan kurang memberi perhatian kepada pengembangan bakat yang kreatif.
Kreatifitas yang dimaksud adalah proses merasakan dan mengamati adanya masalah, membuat dugaan tentang kekurangan, menilai dan menguji dugaan atau hipotesis, kemudian mengubahnya dan mengujinya lagi sampai pada akhirnya menyampaikan hasilnya. Dengan adanya kreatifitas yang diimplementasikan dalam sistem pembelajaran, peserta didik nantinya diharapkan dapat menemukan ide-ide yang berada dalam memecahkan masalah yang dihadapi sehingga ide-ide kaya yang progresif dan divergen pada nantinya dapat bersaing dalam kompetisi global yang selalu berubah
Demikian pula tersedianya sarana dan prasarana (fasilitas) merupakan factor penunjang terciptanya pendidikan yang bermutu dan berkuwalitas. Sebagai contoh; laboratorium bahasa, asrama yang berbasis English Area dan lain-lain. Karena dengan demikian dapat mempermudah dan mempercepat peserta didik dalam penguasaan bahasa Inggris.
Oleh karena itu, melalui badan asosiasi yang sudah terbentuk sebagaimana disebutkan di atas, diharapkan akan adanya sebuah lembaga pelayanan terpadu dengan pelayanan dan fasilitas standar tinggi yang telah disepakati bersama oleh seluruh lembaga pendidikan dan kemasyarakatan. Sehingga ini juga akan terbentuk pelayanan yang efektif dan efisien serta memuaskan.

4.      Menerima perbedaan (Accept diversity)
Dalam masyarakat sering ditemukan pelbagai individu atau kelompok yang berasal dari budaya berbeda, demikian pula dalam pendidikan, diversitas tersebut tidak bisa dielakkan. Diversitas budaya itu bisa ditemukan di kalangan peserta didik maupun para guru yang terlibat –secara langsung atau tidak- dalam satu proses pendidikan. Diversitas itu juga bisa ditemukan melalui pengkayaan budaya-budaya lain yang ada dan berkembang dalam konstelasi budaya lokal, nasional dan global.
Oleh karena itu, model pendidikan yang memiliki prinsip menerima perbedaan ini bukan merupakan satu bentuk pendidikan monokultur, akan tetapi model pendidikan yang berjalan di atas rel pluralitas. Diversitas budaya ini akan mungkin tercapai dalam pendidikan jika pendidikan itu sendiri mengakui dan menerima pluralitas yang ada, bersikap terbuka (openess) dan memberi ruang kepada setiap perbedaan yang ada untuk terlibat dalam suatu proses pendidikan. Untuk itu, Pendidikan di Pare telah berkomitmen menjadi pendidikan inklusif. Komitmen ini diwujudkan dengan memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada siapapun untuk belajar, termasuk kepada para penyandang different ability (difabel).

5.      Tanggung jawab kelembagaan (Institutional responsiveness)
Pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berubah secara terus-menerus adalah sebuah kewajiban dari lembaga publik sejak mereka terbentuk untuk melayani masyarakat. Lembaga harus dapat dengan cepat merespon pelbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat agar manfaat lembaga akan terus dapat dirasakan. Selain itu, tugas lembaga adalah memonitoring secara intensif terhadap perilaku peserta didik, sejauh mana mereka memahami konsepsi-konsepsi khususnya yang berkaitan dengan kehidupan dan nilai-nilainya. Karena setiap lembaga pendidikan memiliki tanggung jawab akademis kepada setiap peserta didiknya. Salah satu bentuk tanggung jawab akademis itu, selain memastikan kualitas pendidikan, juga memberikan berbagai bukti formal kepada peserta didik yang dinilai telah lulus dalam sebuah program studinya.
Kendati demikian, pendidikan sebagai proses pemanusiaan manusia membutuhkan sinergi antar komponen serta membutuhkan kesepahaman visi dan misi seluruh stake holder yang terlibat. Komponen pendidikan yang meliputi raw material (input peserta didik), tools (alat-alat dan sarana prasarana), serta process (metode pembelajaran) adalah sebuah sistem yang akan menentukan kualitas out put (lulusan). Sedangkan stake holder yang terdiri atas siswa, guru, kepala sekolah atau manajer, wali murid, dinas terkait dan pemerintah daerah harus sevisi dan sinergi sehingga memperlancar dan mempermudah pencapaian tujuan baik tujuan akademis maupun pembentukan moral.

6.      Wisata Edukasi
Tolak ukur keberhasilan setiap individu atau lembaga dalam proses pendidikan berbeda antara satu dengan yang lain. Begitu pula lembaga-lembaga di Pare. Pada umumnya, setiap lembaga memiliki standarisasi keberhasilan bagi peserta didiknya. Standarisasi tersebut adalah kemampuan mengimplementasikan bahasa Inggris sebagai media komonikasi dalam kehidupan sehari-sehari. Lebih daripada itu, peserta didik mampu berkomunikasi secara baik dan lancar dengan pemilik bahasa tersebut (foreigner). Untuk menguji kemampuan itu setiap lembaga mengadakan wisata edukasi ke berbagai tempat wisata di Indonesia dalam rangka berbicara langsung dengan para natif.
Siswa di Kampung Inggris

Sinergi antara Bahasa dan Peradaban Manusia



Ibn Khaldun dalam sebuah magnum opus-nya “Muqaddimah” mengatakan bahwa tanda wujudnya peradaban adalah berkembangnya ilmu pengetahuan seperti fisika, kimia, geometri, aritmetik, astronomi, optik, kedokteran dsb. Bahkan maju mundurnya suatu peradaban tergantung atau berkaitan dengan maju mundurnya ilmu pengetahuan. Jadi substansi peradaban yang terpenting dalam teori Ibn Khaldun adalah ilmu pengetahuan. Namun ilmu pengetahuan tidak mungkin hidup tanpa adanya komunitas yang aktif mengembangkannya. Karena itu suatu peradaban harus dimulai dari suatu “komunitas kecil” dan ketika komunitas itu membesar maka akan lahir besar. Komunitas itu biasanya muncul di perkotaan atau bahkan membentuk suatu kota. Dari kota itulah akan terbentuk masyarakat yang memiliki berbagai kegiatan kehidupan yang daripadanya timbul suatu sistem kemasyarakat dan akhirnya lahirlah suatu Negara. Tanda-tanda lahir dan hidupnya suatu peradaban bagi Ibn Khaldun di antaranya adalah berkembanganya teknologi, (tekstil, pangan, dan papan / arsitektur), kegiatan eknomi, tumbuhnya praktek kedokteran, kesenian (kaligrafi, musik, dsb). Di balik tanda-tanda lahirnya suatu peradaban itu terdapat komunitas yang aktif dan kreatif menghasilkan ilmu pengetahuan.
Namun di balik faktor aktivitas dan kreativitas masyarakat masih terdapat faktor lain yaitu bahasa. Karena bahasa merupakan media untuk menyampaikan sebuah gagasan. Sebaik apapun pemikiran seseorang, tanpa bahasa adalah suatu ke-nihil-an. Sinergi antara bahasa dan pemikiran manusia dapat mengantarkan manusia untuk tidak saja menyempurnakan penampilan ragawi mereka, tetapi juga mengatasi berbagai keterbatasan ragawi mereka sehingga memberi jalan bagi lahirnya fenomena khas manusia berupa kebudayaan, dan secara lebih khusus peradaban. Itulah sebabnya Wittgenstein mengatakan "Die Grenzen meiner Sprache bedeuten die Grenzen meiner Welt," yang jika diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia akan berbunyi seperti ini, "Batas Bahasaku adalah batas duniaku." Dengan kata lain, Kalau ketidak-mampuan berbahasa adalah batas dunia binatang, maka kekurang-cakapan berbahasa juga membatasi dunia manusia. Pun bila dikehendaki memperluas dunia manusia, maka salah satu piranti utamanya adalah kecakapan berbahasa.
Sejalan dengan Wittgenstein, Ernest Cassirer juga memiliki suatu kesimpulan  yang berbeda dari kecenderungan pemikiran awam. Kalau kebanyakan dari kita meyakini bahwa pembeda utama manusia dari binatang adalah kemampuan berpikirnya, maka Cassirer menegaskan bahwa manusia menjadi begitu istimewa karena bahasa. Demikian juga Erving Goffman mengatakan, ”... human beings are symbol-using creatures”. Ungkapan ini pada dasarnya sama dan sebangun dengan penyebutan Cassirer bahwa manusia adalah animal symbolicum.
Perlu ditegaskan disini bahwa simbol merupakan atom-atom penyusun sebuah bahasa. Satuan terkecil ini dapat berupa bunyi ataupun gerakan. Kita ambil contoh misalnya seorang bayi yang baru lahir dan kemudian menangis kencang. Hal ini merupakan sebuah simbol yang pertama yang dihasilkan insan manusia ketika berhasil menatap dunia. Bunyi tangisan tersebut dapat bermakna beragam, apakah si bayi merasa kesakitan, merasa kedinginan atau kepanasan terhadap perubahan kondisi, merasa lapar, merasa tidak nyaman, dan berbagai asumsi lainnya.
Berbicara mengenai simbol, sering kali terkait akan bidang pengetahuan lain, seperti Matematika ataupun Kesenian. Matematika yang penuh dengan angka-angka dan simbol-simbol penghubungnya, serta Seni yang dengan keindahan suguhannya mampu menghipnotis penikmatnya. Tapi pernahkah terpikir bahwa cabang ilmu tersebut juga merupakan sebuah bahasa? Ya, bahasa! Matematika dengan angka-angkanya merupakan sebuah sistem bahasa yang jika disusun sedemikian rupa dengan bantuan simbol lainnya akan menghasilkan sebuah makna kebahasaan, bahasa matematika tentunya. sebagai contoh misalnya, 1 + 1 = 2. angka dua dihasilkan atas penggabungan simbol-simbol sebelumnya, yakni angka 1 yang dihubungkan dengan simbol (+) serta diikuti angka 1 dan menghasilkan persamaan yang dilambangkan dengan =. Sebuah proses induktif yang berhasil menciptakan sebuah simpulan.
Kembali berbicara masalah bahasa, pernahkah terpikir apa yang akan terjadi jika manusia tidak pernah menemukan bahasa seperti yang kita gunakan saat ini? Pada dasarnya, sebutan manusia sebagai makhluk pengguna simbol memiliki cakupan lebih luas dibanding sebutan manusia sebagai makhluk berpikir (homo sapiens), karena hanya dan hanya bila menggunakan bahasa maka manusia bisa berpikir dengan runtut, teratur, canggih, dan abstrak. Lebih lanjut, semua prestasi kolektif manusia, seperti khasanah pengetahuan keilmuan, kemajuan peradaban, serta keadiluhuran budaya, hampir pasti tidak bisa diwujudkan tanpa peran bahasa sebagai prasyarat utama.
Tanpa bahasa, maka tiada pula kemampuan manusia untuk meneruskan nilai-nilai, pola-pola perilaku, dan benda-benda budaya dari satu angkatan kepada angkatan penerusnya. Lebih dari itu, tanpa bahasa boleh jadi juga akan jauh lebih sulit membayangkan terjadinya pengayaan budaya melalui pertukaran antar kelompok masyarakat.

Refleksi Pengalaman Diri



AKU ADALAH AKU...................


Beberapa hari ini, saya melakukan rihlah ke sebuah desa yang dikenal dengan “Kampung Inggris”. Sendirian. Berbagai tempat (kompleks) saya hampiri. Berbagai nuansa saya hayati. Berbagai nilai saya rasuki. Berbagai disiplin saya ikuti. Berbagai, berbagai, berbagai…..
Meskipun masih beberapa hari, seandainya disuruh bercerita tentang pengalaman rihlah saya, entah berapa ribu lembar kertas akan habis saya tulis. Jika saya seorang ilmuwan, entah berapa teks bias saya teliti. Jika saya seorang sastrawan, entah berapa roman, berapa novel, dan cerita-cerita pendek bias saya dokumentasikan. Dan jika saya seorang pengusaha, entah berapa banyak keuntungan-keuntungan yang saya dapatkan.
Sayang, saya hanyalah saya, bukan kamu, bukan dia dan bukan mereka. Saya adalah saya. Tapi barangkali kata “unfortunately” yang pas jika ditempelkan ke dalam diri saya. Tapi untunglah saya hanyalah saya. Bukan siapa-siapa. Paling tidak saya sekedar seorang manusia, atau seorang “makhluk jelata”, atau “orang biasa”.
Saya bukan seorang ilmuwan yang berjalan mencari gejala-gejala, yang memburu realitas-realitas hanya untuk dijadikan bahan observasi di sebuah laboratorium. Begitu pula bukan seorang pedagang yang melancong menjajah dunia lain hanya sebagai pelancong yang senantiasa mencari keuntungan.
Saya tidak berupaya “merakyat”, karena saya memang sekedar bagian dari rakyat. Kalau suatu hari saya dijumpai orang menjadi seorang “frustasi”, saya bukanlah “sedang menghayati kehidupan orang frustasi”, karena saya memang sungguh-sungguh seorang yang frustasi. Kalau pada hari berikutnya saya menjadi “pengemis”, saya bukanlah “sedang menghayati bagaimana beratnya mempertahankan hidup sebagai pengemis”, karena pada saat itu saya memang sungguh-sungguh seorang pengemis. Saya tidak pernah menghayati orang miskin, kemiskinan, penderitaan, kesengsaraan, atau kelaparan, sebab saya memang orang miskin yang menderita, sengsara dan kelaparan. Namun, pada sisi lain, saya adalah juga seorang manusia yang riang gembira, penuh syukur, dan bahagia. Saya tinggal memilih berganti-ganti memakai kaki bahagia atau kaki derita, tangan sedih atau tangan gembira.
Inilah saya…!!! Saya hanya bisa berguman dalam hati, “untuntunglah Allah menyediakan seribu kemungkinan nilai yang memungkinkan setiap orang tetap berpeluang mengolah kegembiraan dan kebahagiaannya di posisi mana pun dan keadaan bagaimana pun. Manusia diberi-Nya kesanggupan untuk beradaptasi terhadap situasi bermacam-macam. Manusia dikasih-Nya darah, naluri, dan kecerdasan agar ia tetap saja mampu menyelenggarakan kegembiraan dan kebahagiaan meskipun dengan suku cadang yang terendah nilainya bisa menghasilkan ramuan kegembiraan dan kebahagiaan yang jauh melebihi taraf kegembiraan dan kebahagiaan yang dirajut dengan suku cadang mewah”
“Manusia bekerja keras, mengobankan harga diri dan kemanusiaannya untuk memperoleh sejumlah suku cadang yang mungkin berupa uang, harta benda, atau jabatan yang diperhitungkan akan bisa dipakai untuk menanak kegembiraan serta kebahagiaan. Sebagian memperolehnya, antara lain; dengan cara menggorok manusia-manusia lain. Tetapi peningkatan nilai suku cadang itu tidak berbanding sejajar dengan kadar kegembiraan dan kebahagiaan yang dirindukannya.  Pada saat banyak gejala, bahkan mereka berbanding terbalik. Kalau kita telah memiliki tingkat harta yang tinggi, ketika seseorang menyodori kita uang sepuluh ribu rupiah, tak terasa oleh kita. Tetapi yang itu sangat besar artinya jika kita cukup melarat. Makin miskin kita, makin berarti semua uang dan harta benda. Makin kaya kita, kekayaan makin tak terasa. Sehingga, kalau manusia berakal sehat, ia akan cenderung memilih miskin, asal jangan sampai fakir…”
Untuk itu, saya mencoba untuk menempelkan diri saya bersama orang-orang lain yang jika ditanya siapa dia, menjawab: “Aku seorang master”, “Aku seorang profesor”, “Aku seorang PNS”, “Aku pejabat”, atau apa pun. Sehingga saya “bukan” saya, sebab saya hanya sebatas perjanjian di antara orang-orang yang mengenal saya. Bahkan mungkin tak seorang pun mengenali saya yang sebenarnya.
Saya sekedar seorang manusia, hanyalah sesuatu yang diizinkan Allah untuk menjadi seorang manusia. Maka saya bisa “berperan” menjadi siapa pun dan apa pun pada baju kemanusiaan saya. Saya bisa berperan sebagai siapa pun dan apa pun dalam konteks yang bermacam-macam.
Saya harus melihat diri sendiri dengan suatu ketidakkerasanan sebagai anggota dari suatu lingkaran komunitas; RT, RW, kelurahan, kecamatan, kabupaten, provinsi… padahal saya adalah warga dari suatu “negeri alam semesta” yang batas tutorial saya tidak terbatas, yang diketahui hanya oleh Allah Sang Pencipta.
Maka, saya mencoba untuk rihlah dengan memilih jalan yang kira-kira terbebas dari penglihatan ataupun pandangan nilai masyarakat yang baku. Pada saat-saat tertentu, saya harus membuat diri sendiri “tidak ada”. Artinya, saya akan melenyapkan seluruh getaran keberadaan pribadi sehingga siapa pun di sekeliling saya tak merasa bahwa saya ada karena memang tidak ada. Bukan berarti saya bisa “menghilang”. Saya sekedar melenyapkan diri dari setiap perangkat komunikasi manusia dan sistem lingkungan yang ada. Saya hanya bersembunyi dari mata pengetahuan.