Orentasi Medan Sebelum Siswa Belajar |
Tradisi umat manusia
dalam rangka mempertahankan keberlangsungan eksistensi kehidupan maupun budaya
mereka; atau bahkan untuk bersaing antar satu kelompok dengan kelompok lainnya
dan antar satu individu dengan individu yang lain adalah melalui pendidikan.
Pendidikan merupakan
media atau wahana untuk menanamkan nilai-nilai moral dan ajaran keagamaan,
pembentukan kesadaran bangsa, meningkatkan taraf ekonomi, social, mengurangi
kemiskinan serta sebagai instrument menguasai teknologi. John Dewey, seorang filsuf
pendidikan yang mengusung pendidikan progresif di Amerika, mengatakan
“…education is
the fundamental method of social progress and reform. All reform which rest
simply upon the enactment of law. Or the threatening of certain penalties, or
upon changes in mechanical or outward arrangements, are transitory and futile.
Education is a regulation of the process of coming to share in the social
consciousness; and that the adjustment of individual activity on the basic of
this social consciousness is the only sure method of social reconstruction”
Dalam bahasa yang lebih
sederhana, pendidikan dapat disebut juga sebagai proses yang dilakukan agar ada
perubahan di dalam masyarakat. Dari gambaran ini terlihat jelas bahwa parameter
kunci pendidikan adalah perubahan.
Perubahan yang kita
dapatkan dari proses pendidikan sangatlah vital bagi kepentingan masyarakat
sebab wajah pendidikan kita hari ini adalah wajah masyarakat kita dimasa yang
akan datang.
Malcolm X, pejuang
kebebasan kulit hitam pernah menyerukan,
“Education
is our passport to the future, for tomorrow belongs to the people who prepare
for it today;”
hingga jika kita ingin
mendapatkan masa depan yang lebih baik, maka kita harus menyiapkan pendidikan
yang juga lebih baik.
Berbagai kebudayaan dan
keyakinan umat manusia, sesungguhnya terus menerus berusaha untuk menjaga dan
mempertahankan penyelenggaraan pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan ini
selanjutnya menjadi kewajiban kemanusiaan maupun sebagai strategi budaya dalam
rangka mencapai sebuah pencerahan (enlighment)
serta untuk mempertahankan kehidupan mereka.
Itulah makanya, melihat
begitu pentingnya pendidikan bagi umat manusia. Banyak peradaban manusia yang
“mewajibkan” masyarakatnya untuk tetap menjaga keberlangsungan pendidikan.
Banyak tradisi dan keyakinan manusia menekankan akan pentingnya pendidikan dan
mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu. Anjuran tersebut semata didasarkan
karena keyakinan bahwa eksistensi umat manusia akan terancam jika pendidikan
diabaikan.
Pendidikan merupakan
satu-satunya strategi umat manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya
yang usianya hampir sama dengan manusia itu sendiri, -sejak adanya manusia-
Oleh karenanya, pendidikan harus senantiasa membuat masing-masing individu
(manusia) untuk memiliki personal behavior yang efektif, sehingga mampu
menyesuaikan diri dengan perkembangan sisterm politik dan struktur ekonomi yang
penuh dengan persaingan. Dengan demikian ada sebuah slogan “siapa yang kuat dan
pandai akan menang dan mereka yang kalah akan tersingkirkan”, atau dengan
meminjam bahasa filosof –knowledge is
power-
Perkembangan dan
perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
tidak terlepas dari pengaruh perubahan global, perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, seni dan budaya. Perkembangan dan perubahan yang terjadi secara
terus-menerus ini, menuntut perlunya peningkatan kualitas pendidikan nasional,
seperti peningkatan sumber daya manusia (SDM), termasuk penyempurnaan tujuan,
proses pendidikan, kualitas out put dan lain sebagainya. Ini sumua guna
mewujudkan masyarakat yang mampu bersaing dan menyesuaikan diri dengan
perubahan zaman.
Atas dasar tersebut,
Pare, yang dikenal dengan “Kampung Bahasa”, mencoba melangkah untuk
meningkatkan kualitas atau mutu pendidikan yang aksentuasinya adalah bahasa
Ingris. Secara pasti tujuan pendidikan di Pare selain menciptakan individu yang
berkepribadian baik juga mencetak SDM yang mampu berdialektika dengan dunia
internasional, dalam arti, generasi yang dibentuk adalah SDM yang mumpuni dalam
bidang ilmunya sekaligus memahami media-media yang dipakai dalam dunia global.
Salahsatunya adalah bahasa Inggris.
Metode pendidikan dan
pengajaran di Pare juga dirancang untuk mencapai tujuan di atas. Setiap
metodologi yang tidak berorientasi pada tercapainya tujuan tersebut tentu dihindari. Dengan demikian, pendidikan
di Pare ditujukan dalam rangka membangkitkan dan mengarahkan potensi, baik yang
ada pada diri setiap manusia selaras dengan fitrah manusia dan meminimalisasi
aspek buruknya.
Dalam kerangka ini,
diperlukan suatu prinsip yang menjadi paradigm dasar atas pendidikan di Pare,
antara lain:
1.
Asosiasi
Lembaga dan Masyarakat
Pare merupakan suatu
daerah yang selama ini dikenal sebagai Kampung Bahasa. Sebagai Kampung Bahasa
sudah tentu di dalamnya terdapat banyak lembaga yang mengajarkan bahasa,
khususnya bahasa Inggris. Dari sekian banyaknya lembaga, dibutuhkan sebuah
asosiasi yang mewadahi semua lembaga pendidikan dan kegiatan kemasyarakatan di
Kampung Bahasa. Sehingga dengan demikian, semua lembaga yang ada dapat bekerja
sama dalam mengoptimalkan dan
mengembangkan sistem pendidikan di Pare.
Kendatipun demikian, untuk mewujudkan suatu pendidikan
yang ideal tidak terlepas dari dukungan masyarakat setempat. Karena masyarakat
merupakan salah satu faktor terciptanya pendidikan yang nantinya mampu
mengangkat citra suatu bangsa di mata dunia internasional. Untuk itu,
diperlukan kerjasama semua lembaga dengan seluruh lapisan masyarakat di Pare
dalam bentuk kemitraan.
Secara konseptual,
kemitraan mengandung makna adanya kerjasama antara satu pihak (lembaga
pendidikan) dengan
pihak lainnya (masyarakat) disertai pembinaan dan pengembangan usaha atau
program yang berkelanjutan oleh kedua belah pihak dengan memperhatikan prinsip
saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Sehingga akan
terbuka ruang akselerasi yang cukup kepada semua elemen masyarakat, untuk turut
memberikan kontribusi yang optimal dalam upaya perluasan akses pendidikan.
Rangkaian selanjutnya
adalah tahap realisasi. Tentunya akan membutuhkan program pendidikan dan
kurikulum yang selaras, serasi dan berkesinambungan dengan tujuan yang telah
dicita-citakan
2.
Independensi
Lembaga Pendidikan
Pada dasarnya,
modernitas dengan lipstick kuasanya yang berupa mesin tekhnologi mampu menghipnotis
kehidupan manusia dari dunia kebebasan berpikir dan berkehendak menjadi penjara
nalar, sehingga eksistensi manusia sebagai makhluk yang mulia terinjak-injak
oleh ideology tekhnologis. Dan yang paling ironis penjajahan itu pula berimbas
pada sistem pendidikan. Pendidikan masa sekarang telah kehilangan
objektifitasnya dalam arti kata peran dan fungsinya mengalami anomali dari
proses penciptaan kesadaran (consciousness)
yang aksentuasinya adalah pencerahan (enlightenment)
berubah menjadi proses penciptaan ketidaksadaran (unconciousness) yang skimming-nya pada penindasan berpikir
(pembentukan manusia mekanik). Pendidikan yang semula alamiah dan liar,
perlahan mulai diikat pada tali formalitas. Maka dibuatlah kurikulum pendidikan
secara missal agar ada standarisasi dan pemfokusan hasil agar tidak ada
penyimpangan dari target. Mulailah dibakukan jam belajar.
Kondisi ini memang
memberikan perbaikan bagi dunia pendidikan. Akan tetapi ada efek lain yang juga
ditimbulkannya, yaitu terciptanya sejumlah individu yang oleh Herbert Marcuse
disebut manusia satu dimensi: individu yang hanya bangun, pergi sekolah, pulang
dan belajar secara terus menerus sehingga lupa akan berkreasi dan berimajinasi.
Melihat fenomena di
atas, lembaga-lembaga pendidikan di Pare umumnya membebaskan diri dari berbagai
tendensi yang bisa mengekang perkembangan dan optimalisasi pendidikan yang ada,
seperti tendensi pemerintah. Karena realitas yang terjadi sekarang, khususnya
di Indonesia adalah kemana penguasa berkehendak, kesitulah roda pendidikan
diputar. Dengan demikian lembaga pendidikan di Pare dapat berjalan secara
independen dengan bebas, kreatif, inofatif dan imajinatif.
3.
Keterpaduan
pemberian pelayanan (Integrated delivery of service)
Suatu sistem pendidikan
dapat dikatakan bermutu, jika proses belajar mengajar berlangsung secara
menarik dan menantang, sehingga peserta didik dapat belajar sebanyak mungkin
melalui proses belajar yang berkelanjutan. Proses pendidikan yang bermutu akan
membuahkan hasil pendidikan yang bermutu dan relevan dengan pembangunan. Untuk
mewujudkan pendidikan yang bermutu dan efisien tersebut perlu disusun dan
dilaksanakan program-program pendidikan yang mampu membelajarkan peserta didik
secara berkelanjutan, karena dengan kuwalitas pendidikan yang optimal, diharapkan
akan dicapai keunggulan sumberdaya manusia yang dapat menguasai pengetahuan,
keterampilan dan keahlian sesuai dengan ilmu pengetahuan yang terus berkembang.
Untuk itu, diperlukan
manajemen pendidikan yang dapat memobilisasi segala sumber daya pendidikan.
Manajemen pendidikan itu terkait dengan manajemen peserta didik yang isinya
merupakan pengelolaan, fasilitas dan kwalitas pelayanan terhadap seluruh
peserta didik. Fakta-fakta di lapangan ditemukan sistem pengelolaan peserta
didik yang masih belum professional, seperti lebih menekankan pada pengembangan
kecerdasan dalam arti yang sempit dan kurang memberi perhatian kepada
pengembangan bakat yang kreatif.
Kreatifitas yang
dimaksud adalah proses merasakan dan mengamati adanya masalah, membuat dugaan
tentang kekurangan, menilai dan menguji dugaan atau hipotesis, kemudian
mengubahnya dan mengujinya lagi sampai pada akhirnya menyampaikan hasilnya.
Dengan adanya kreatifitas yang diimplementasikan dalam sistem pembelajaran,
peserta didik nantinya diharapkan dapat menemukan ide-ide yang berada dalam
memecahkan masalah yang dihadapi sehingga ide-ide kaya yang progresif dan
divergen pada nantinya dapat bersaing dalam kompetisi global yang selalu
berubah
Demikian pula
tersedianya sarana dan prasarana (fasilitas) merupakan factor penunjang
terciptanya pendidikan yang bermutu dan berkuwalitas. Sebagai contoh; laboratorium
bahasa, asrama yang berbasis English Area
dan lain-lain. Karena dengan demikian dapat mempermudah dan mempercepat peserta
didik dalam penguasaan bahasa Inggris.
Oleh karena itu, melalui
badan asosiasi yang sudah terbentuk sebagaimana disebutkan di atas, diharapkan
akan adanya sebuah lembaga pelayanan terpadu dengan pelayanan dan fasilitas
standar tinggi yang telah disepakati bersama oleh seluruh lembaga pendidikan
dan kemasyarakatan. Sehingga ini juga akan terbentuk pelayanan yang efektif dan
efisien serta memuaskan.
4.
Menerima
perbedaan (Accept diversity)
Dalam masyarakat sering
ditemukan pelbagai individu atau kelompok yang berasal dari budaya berbeda,
demikian pula dalam pendidikan, diversitas tersebut tidak bisa dielakkan.
Diversitas budaya itu bisa ditemukan di kalangan peserta didik maupun para guru
yang terlibat –secara langsung atau tidak- dalam satu proses pendidikan.
Diversitas itu juga bisa ditemukan melalui pengkayaan budaya-budaya lain yang
ada dan berkembang dalam konstelasi budaya lokal, nasional dan global.
Oleh karena itu, model
pendidikan yang memiliki prinsip menerima perbedaan ini bukan merupakan satu
bentuk pendidikan monokultur, akan tetapi model pendidikan yang berjalan di
atas rel pluralitas. Diversitas budaya ini akan mungkin tercapai dalam
pendidikan jika pendidikan itu sendiri mengakui dan menerima pluralitas yang
ada, bersikap terbuka (openess) dan
memberi ruang kepada setiap perbedaan yang ada untuk terlibat dalam suatu
proses pendidikan. Untuk itu, Pendidikan di Pare telah berkomitmen menjadi
pendidikan inklusif. Komitmen ini diwujudkan dengan memberikan peluang dan
kesempatan yang sama kepada siapapun untuk belajar, termasuk kepada para
penyandang different ability (difabel).
5.
Tanggung
jawab kelembagaan (Institutional responsiveness)
Pelayanan terhadap
kebutuhan masyarakat yang berubah secara terus-menerus adalah sebuah kewajiban
dari lembaga publik sejak mereka terbentuk untuk melayani masyarakat. Lembaga
harus dapat dengan cepat merespon pelbagai perubahan yang terjadi dalam
masyarakat agar manfaat lembaga akan terus dapat dirasakan. Selain itu, tugas
lembaga adalah memonitoring secara intensif terhadap perilaku peserta didik,
sejauh mana mereka memahami konsepsi-konsepsi khususnya yang berkaitan dengan
kehidupan dan nilai-nilainya. Karena setiap lembaga pendidikan memiliki
tanggung jawab akademis kepada setiap peserta didiknya. Salah satu bentuk
tanggung jawab akademis itu, selain memastikan kualitas pendidikan, juga
memberikan berbagai bukti formal kepada peserta didik yang dinilai telah lulus
dalam sebuah program studinya.
Kendati demikian, pendidikan
sebagai proses pemanusiaan manusia membutuhkan sinergi antar komponen serta
membutuhkan kesepahaman visi dan misi seluruh stake holder yang terlibat. Komponen pendidikan yang meliputi raw
material (input peserta didik), tools (alat-alat dan sarana
prasarana), serta process (metode pembelajaran) adalah sebuah sistem
yang akan menentukan kualitas out put (lulusan). Sedangkan stake holder yang terdiri atas siswa, guru, kepala sekolah atau
manajer, wali murid, dinas terkait dan pemerintah daerah harus sevisi dan
sinergi sehingga memperlancar dan mempermudah pencapaian tujuan baik tujuan
akademis maupun pembentukan moral.
6.
Wisata
Edukasi
Tolak ukur keberhasilan
setiap individu atau lembaga dalam proses pendidikan berbeda antara satu dengan
yang lain. Begitu pula lembaga-lembaga di Pare. Pada umumnya, setiap lembaga
memiliki standarisasi keberhasilan bagi peserta didiknya. Standarisasi tersebut
adalah kemampuan mengimplementasikan bahasa Inggris sebagai media komonikasi
dalam kehidupan sehari-sehari. Lebih daripada itu, peserta didik mampu
berkomunikasi secara baik dan lancar dengan pemilik bahasa tersebut (foreigner). Untuk menguji kemampuan itu
setiap lembaga mengadakan wisata edukasi ke berbagai tempat wisata di Indonesia
dalam rangka berbicara langsung dengan para natif.
Siswa di Kampung Inggris |